Revolusi Pertanian: Penipuan Terbesar dalam Sejarah?
“Revolusi Pertanian adalah penipuan terbesar dalam sejarah.”
Pernyataan berani ini muncul dalam buku Sapiens: A Brief History of Humankind karya Yuval Noah Harari, seorang sejarawan yang gemar memutarbalikkan cara kita melihat sejarah umat manusia. Kita selama ini diajarkan bahwa penemuan bercocok tanam adalah lompatan besar menuju peradaban: manusia menjadi lebih makmur, lebih stabil, dan memiliki lebih banyak makanan. Namun, Harari mengajak kita berpikir ulang.

Ledakan Makanan, Ledakan Masalah
Memang benar, Revolusi Pertanian sekitar 10.000 tahun lalu menghasilkan lebih banyak makanan daripada masa berburu-mengumpul (foraging). Gandum, padi, jagung, dan tanaman lain mulai dibudidayakan secara intensif. Hasil panen melonjak. Populasi manusia pun meledak.
Tapi di sinilah letak “penipuan”-nya. Meski makanan lebih banyak, itu tidak berarti kualitas hidup rata-rata manusia meningkat.
Menurut Harari, para petani justru hidup dalam kondisi yang lebih buruk dibanding para pemburu-pengumpul. Kenapa? Karena mereka harus bekerja lebih keras, lebih lama, dan menghadapi risiko lebih besar—seperti gagal panen, kelaparan, atau serangan penyakit yang mudah menyebar di pemukiman padat.
Diet Kurang Variasi
Pemburu-pengumpul biasanya mengonsumsi berbagai jenis makanan: daging, ikan, buah, umbi-umbian, kacang-kacangan, biji-bijian. Diet mereka lebih bervariasi dan seimbang.
Sebaliknya, para petani sangat bergantung pada sedikit jenis tanaman pokok. Gandum di Timur Tengah, padi di Asia, jagung di Amerika Tengah. Akibatnya, pola makan mereka menjadi monoton dan kurang zat gizi penting.
Banyak penyakit defisiensi gizi mulai muncul di masa pertanian. Rakyat jelata sering kekurangan protein, vitamin, dan mineral.
Lebih Banyak Bekerja, Lebih Sedikit Waktu Luang
Para pemburu-pengumpul tidak bekerja sepanjang hari. Banyak penelitian antropologi menunjukkan mereka hanya perlu berburu atau mengumpulkan makanan selama 4–6 jam per hari. Sisanya? Waktu luang, bersosialisasi, bercerita, beristirahat.
Petani? Mereka terikat oleh musim tanam, hujan, hama, ladang yang harus digarap, hasil panen yang harus diangkut. Pagi hingga senja, hari demi hari. Bahkan anak-anak harus membantu sejak kecil.
Hasilnya: kehidupan petani jauh lebih berat dan melelahkan.
Populasi Meledak, Hidup Makin Sulit
Revolusi Pertanian memicu ledakan populasi. Lebih banyak makanan = lebih banyak bayi yang bertahan hidup. Populasi melonjak. Tapi ini menciptakan lingkaran setan: makin banyak orang, makin besar tuntutan produksi pangan.
Tanah harus digarap lebih intens. Tubuh manusia dipaksa bekerja lebih keras. Dan jika musim gagal panen datang, kelaparan bisa menghantam lebih dahsyat karena masyarakat agraris cenderung menetap dan sulit berpindah mencari sumber makanan lain.
Siapa yang Untung?
Lantas, siapa yang benar-benar diuntungkan oleh Revolusi Pertanian? Menurut Harari, bukan petani biasa. Justru spesies tertentu yang menjadi pemenang: gandum, padi, jagung.
Tanaman-tanaman ini berhasil “memaksa” Homo sapiens memfokuskan energi, waktu, dan lahan demi kelangsungan hidup mereka. Dari puluhan ribu hektare hutan yang dulu liar, berubah menjadi sawah dan ladang. Hasilnya? Tanaman ini menyebar ke seluruh dunia, jauh lebih sukses secara biologis.
Sementara manusia? Justru makin terikat rutinitas, risiko kelaparan, dan pekerjaan fisik yang tak kunjung usai.
Revolusi Mental dan Sosial
Revolusi Pertanian juga membawa perubahan sosial besar. Konsep “milik pribadi” makin menguat. Lahan menjadi harta berharga. Kesenjangan sosial muncul. Orang yang memiliki lebih banyak tanah atau hewan ternak jadi lebih berkuasa.
Bahkan, muncul kelas elite yang hidup dari hasil kerja petani biasa: bangsawan, pendeta, birokrat. Struktur masyarakat makin kompleks dan hierarkis.
Warisan Hingga Kini
Dampak Revolusi Pertanian masih terasa sampai sekarang. Kita hidup di dunia yang lahir dari pertanian: kota, negara, sistem birokrasi, hukum kepemilikan tanah, surplus pangan yang memungkinkan munculnya peradaban besar.
Tapi, sebagaimana diingatkan Harari, kemajuan ini punya harga. Kita mewarisi kerja keras, ketimpangan sosial, dan kadang pola makan yang kurang bervariasi.

Jadi, benarkah Revolusi Pertanian penipuan terbesar dalam sejarah?
Harari tidak bermaksud mengatakan Revolusi Pertanian sepenuhnya buruk. Tanpa itu, kita mungkin tak akan punya penemuan-penemuan besar, seni, teknologi, ilmu pengetahuan, atau peradaban modern. Namun, ia mengingatkan: kemajuan teknologi atau ekonomi tidak selalu sejalan dengan kebahagiaan manusia rata-rata.
Pelajaran pentingnya? Sejarah bukan cuma soal “kemajuan.” Terkadang, kita perlu bertanya: siapa yang benar-benar diuntungkan oleh perubahan besar dalam sejarah?
Referensi:
- Harari, Yuval Noah. Sapiens: A Brief History of Humankind. Vintage Books, 2015.
- Diamond, Jared. Guns, Germs, and Steel. W.W. Norton & Company, 1997.