Starlink Setop Pengguna Baru di Indonesia: Creating scarcity?
Saya cukup surprise saat membaca berita “Starlink Setop Pengguna Baru di Indonesia” di Kompas Tekno (12 Juli 2025). Bukan hanya karena kebijakan ini muncul tiba-tiba, tetapi juga karena ternyata minat orang Indonesia terhadap teknologi ini cukup tinggi. Mungkin tak mengherankan sebenarnya, mengingat secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan dan maritim. Teknologi berbasis satelit seperti Starlink memang terasa sangat cocok bagi Indonesia, khususnya untuk wilayah yang sulit dijangkau infrastruktur internet kabel atau fiber optik.
Dengan kondisi topografi kita yang penuh lautan, gunung, pulau-pulau terpencil, konektivitas satelit menjadi solusi nyata. Banyak daerah yang selama ini mengeluh soal internet lambat atau tidak terjangkau sinyal, berharap banyak pada Starlink. Karena itu, wajar saja banyak orang kecewa mendengar Starlink sementara menghentikan penerimaan pengguna baru di Indonesia.
Namun, di sisi lain, saya sebenarnya tidak terlalu heran dengan strategi bisnis Elon Musk melalui penghentian penjualan Starlink ini. Musk bukan orang baru dalam menerapkan pola bisnis yang menciptakan sensasi dan kelangkaan. Saya teringat bagaimana Tesla, saat awal meluncurkan mobil listriknya, sengaja membatasi jumlah unit yang tersedia. Calon pembeli harus masuk ke waiting list dan bahkan harus mendepositkan sejumlah uang hanya supaya bisa memesan mobilnya.
Orang-orang benar-benar antre untuk membayar deposit US$ 1.000 untuk mobil yang bahkan belum ada wujudnya! Ada 400.000 orang yang melakukan hal itu. Artinya, Tesla saat itu berhasil mengumpulkan sekitar US$ 400 juta dalam bentuk “pinjaman gratis” dari calon pembelinya! Strategi ini bukan sekadar soal bisnis, tapi juga soal menciptakan narasi bahwa produk tersebut eksklusif, langka, dan hanya dimiliki oleh segelintir orang beruntung.

Menariknya, dalam buku “Influence: The Psychology of Persuasion“, Robert B. Cialdini menjelaskan konsep scarcity (kelangkaan) sebagai salah satu dari enam prinsip persuasi yang memengaruhi perilaku manusia. Menurut Cialdini, orang cenderung lebih menginginkan sesuatu ketika mereka merasa bahwa barang, kesempatan, atau sumber daya tersebut langka atau sulit didapat. Konsep ini berakar pada ide bahwa kelangkaan meningkatkan persepsi nilai dan menciptakan urgensi untuk bertindak. Mungkin konsep ini juga yang mendasari budaya FOMO (Fear of Missing Out) yang terjadi khususnya di kalangan generasi muda dewasa ini. Tren TikTok atau Instagram dengan konten “tren sesaat” memicu FOMO karena pengguna merasa harus ikut agar tidak ketinggalan.
Bagi Starlink, menghentikan pendaftaran pengguna baru bisa saja menjadi cara untuk membangun citra eksklusivitas. Apalagi, ketika permintaan tinggi, langkah seperti ini akan membuat orang merasa “harus segera punya Starlink sebelum kehabisan.” Saya menduga, ketika Starlink kembali membuka layanan, antusiasme publik bisa melonjak lebih tinggi, bahkan mungkin dengan harga atau paket layanan yang berbeda.
Tapi, bisa jadi, strategi ini juga terkait kapasitas layanan Starlink sendiri. Dengan permintaan yang tiba-tiba melonjak, mungkin perlu waktu agar infrastruktur satelitnya mampu mengakomodasi kualitas koneksi yang stabil bagi semua pengguna. Tentu, menjaga kualitas layanan lebih penting daripada sekadar menjaring sebanyak mungkin pelanggan.
Terlepas dari itu, saya pribadi berharap langkah penghentian sementara ini tidak terlalu lama. Karena, potensi Starlink untuk mempercepat inklusi digital di Indonesia memang sangat besar. Terutama bagi masyarakat di wilayah yang selama ini terpinggirkan dari akses internet cepat. Semoga Starlink segera membuka pintu kembali, agar semakin banyak orang Indonesia bisa merasakan manfaat teknologi satelit yang revolusioner ini.
Sumber:
Starlink Setop Pengguna Baru di Indonesia – Kompas Tekno