Mengapa kita tidak bisa lagi membaca?

Sebuah artikel di Medium berjudul “Why can’t we read anymore?” tulisan Hugh McGuire membahas bagaimana era digital memengaruhi kebiasaan membaca buku. McGuire mencatat bahwa meskipun pekerjaannya berkaitan erat dengan buku, ia hanya mampu menyelesaikan empat buku dalam setahun karena terganggu oleh perangkat digital seperti ponsel pintar dan media sosial. Ia juga menyoroti bagaimana gangguan ini merembet ke momen penting dalam kehidupan pribadinya, seperti saat ia merasa tergoda untuk memeriksa email atau media sosial ketika seharusnya fokus pada pertunjukan tari putrinya. McGuire mengakui bahwa teknologi, meskipun menawarkan kemudahan, telah mengurangi kemampuan kita untuk fokus dan menikmati pengalaman secara mendalam.
Saya setuju dengan pandangan ini, karena gejala malas membaca sangat nyata dewasa ini. Generasi muda, khususnya, semakin kehilangan minat untuk membaca buku atau jenis bacaan panjang lainnya yang membutuhkan fokus mendalam dalam jangka waktu lama. Kebiasaan scrolling cepat di media sosial membuat mereka terbiasa dengan informasi instan dan sulit untuk menghargai keindahan membaca yang membutuhkan konsentrasi dan refleksi.
Salah satu solusi yang menurut saya efektif adalah memberdayakan pihak sekolah untuk melibatkan aktivitas membaca buku sebagai kewajiban. Salah satu contoh yang baik adalah apa yang diterapkan oleh SMA anak saya dulu, Sekolah Dian Harapan, yang menyelenggarakan aktivitas Sustained Reading. Dalam kegiatan ini, siswa secara terjadwal membaca buku bersama di kelas selama waktu tertentu di bawah pengawasan guru. Program seperti ini tidak hanya membantu siswa untuk fokus, tetapi juga menumbuhkan kebiasaan membaca yang mendalam sejak dini. Dengan dukungan sekolah, kegiatan membaca dapat menjadi bagian dari rutinitas yang membantu mengatasi dampak negatif teknologi digital terhadap kebiasaan membaca.