Mere Christianity: Menjawab Keberatan tentang Hukum Moral

Setelah memahami konsep Law of Human Nature di Bab 1, kini saya masuk ke Bab 2: Some Objections. Saya semakin tertarik dengan cara Lewis membangun argumennya. Ia tidak hanya memperkenalkan ide-ide tentang moralitas manusia, tetapi juga secara aktif mengantisipasi dan menjawab keberatan-keberatan yang mungkin muncul.
Salah satu hal yang saya kagumi dari pendekatan ini adalah bagaimana Lewis tidak langsung meminta pembaca untuk menerima argumennya begitu saja. Ia mengakui bahwa ada pertanyaan-pertanyaan logis yang bisa muncul, dan ia mencoba menjawabnya dengan cara yang rasional.
Jadi, mari kita lihat bagaimana ia merespons keberatan terhadap gagasan bahwa hukum moral adalah sesuatu yang nyata dan objektif.
Ringkasan Bab 2: Some Objections
Dalam bab ini, Lewis membahas beberapa keberatan utama terhadap konsep Law of Human Nature. Ia menjelaskan mengapa moralitas bukan sekadar (1) insting manusia, (2) kebiasaan sosial, atau (3) sesuatu yang hanya dibuat untuk kepentingan bersama.
Keberatan #1: Apakah Hukum Moral Hanya Insting?
Salah satu argumen yang sering diajukan adalah bahwa moralitas hanyalah hasil dari insting alami manusia. Kita merasa terdorong untuk membantu orang lain bukan karena ada hukum moral yang mengikat kita, tetapi karena naluri bertahan hidup atau naluri kawanan.
Namun, Lewis membantah ini dengan beberapa poin menarik:
- Hukum Moral dan Insting Itu Berbeda
Jika moralitas hanyalah salah satu dari insting manusia, maka kita seharusnya selalu mengikuti insting terkuat. Tetapi dalam banyak kasus, kita justru merasa perlu melawan insting kita. Misalnya, jika kita melihat seseorang tenggelam, kita mungkin memiliki dua insting yang bertentangan: insting untuk menolong dan insting untuk menyelamatkan diri sendiri (“jika saya terjun ke air dan menyelamatkan dia, jangan-jangan saya juga ikut tenggelam!“). Lalu apa yang menentukan mana yang harus kita ikuti? Lewis menjelaskan bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi dari sekadar insting—yaitu hukum moral—yang memberi tahu kita bahwa menolong orang lain adalah tindakan yang benar, bahkan jika insting ketakutan kita lebih kuat.
“The thing that says to you, ‘Your herd instinct is asleep. Wake it up,’ cannot itself be the herd instinct.” - Moralitas Seperti Musik, Bukan Sekadar Nada Tunggal
Lewis menggunakan analogi piano untuk menjelaskan konsep ini:
“The Moral Law tells us the tune we have to play: our instincts are merely the keys.”
Artinya, moralitas bukan hanya tentang mengikuti insting tertentu. Sama seperti seorang pianis yang tidak hanya menekan satu tuts, tetapi menggabungkan berbagai nada untuk menghasilkan musik, hukum moral mengarahkan kita dalam memilih dan menyeimbangkan insting kita dengan cara yang benar.
Keberatan #2: Apakah Hukum Moral Hanya Produk Kebiasaan Sosial?
Keberatan lain yang sering diajukan adalah bahwa moralitas hanyalah hasil dari pendidikan dan kebiasaan sosial. Kita diajarkan sejak kecil bahwa mencuri itu salah, jadi kita percaya itu salah.
Namun, Lewis menunjukkan bahwa mempelajari sesuatu tidak berarti sesuatu itu hanya ciptaan manusia.
- Perbedaan antara Konvensi dan Kebenaran Universal
Ia membandingkan hukum moral dengan aturan mengemudi. Di beberapa negara, orang berkendara di sisi kiri jalan, sementara di negara lain mereka berkendara di sisi kanan. Ini adalah konvensi sosial yang bisa diubah. Tetapi moralitas lebih seperti matematika—sesuatu yang kita pelajari, tetapi tetap benar terlepas dari apakah kita diajari atau tidak.
“Some of the things we learn are mere conventions which might have been different… and others of them, like mathematics, are real truths.” - Jika Moralitas Hanya Kebiasaan Sosial, Tidak Akan Ada Kemajuan Moral
Jika moralitas hanyalah produk budaya, maka kita tidak bisa mengatakan bahwa suatu masyarakat lebih bermoral daripada yang lain. Misalnya, kita percaya bahwa dunia saat ini lebih baik karena telah menghapus perbudakan. Tetapi jika moralitas hanyalah buatan manusia, maka kita tidak bisa mengatakan bahwa menghapus perbudakan adalah “kemajuan”—itu hanya perubahan. Lewis berargumen bahwa karena kita bisa membedakan antara moralitas yang lebih baik dan yang lebih buruk, berarti ada standar objektif yang kita gunakan untuk mengukurnya.
“The moment you say that one set of moral ideas can be better than another, you are, in fact, measuring them both by a standard.”
Keberatan #3: Apakah Moralitas Hanya Dibentuk demi Kepentingan Sosial?
Ada juga argumen bahwa manusia bertindak moral bukan karena adanya hukum moral objektif, tetapi karena mereka menyadari bahwa masyarakat hanya bisa berfungsi jika orang-orang bertindak adil dan tidak egois.
Namun, Lewis menunjukkan bahwa argumen ini tidak cukup untuk menjelaskan mengapa kita merasa ada keharusan moral yang harus kita taati.
- Mengapa Kita Harus Peduli dengan Kesejahteraan Sosial?
Jika kita bertanya, “Mengapa saya harus peduli dengan masyarakat?” dan jawabannya adalah, “Karena itu akan menguntungkan kita semua,” maka pertanyaan selanjutnya adalah: “Mengapa saya harus peduli dengan apa yang menguntungkan kita semua?” Pada akhirnya, kita akan kembali ke titik awal: kita harus peduli karena itu adalah hal yang benar—dan di sinilah hukum moral bekerja.
“If we ask: ‘Why ought I to be unselfish?’ and you reply ‘Because it is good for society,’ we may then ask, ‘Why should I care what’s good for society except when it happens to pay me personally?'” - Moralitas Lebih dari Sekadar Kepentingan Praktis
Lewis menegaskan bahwa hukum moral bukan hanya soal kepentingan bersama. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat kita merasa bahwa kejujuran, keberanian, dan keadilan adalah hal yang benar, terlepas dari apakah itu menguntungkan kita atau tidak.
“Men ought to be unselfish, ought to be fair. Not that men are unselfish, nor that they like being unselfish, but that they ought to be.”
Kesimpulan Bab 2
Dari semua ini, Lewis menunjukkan bahwa hukum moral:
- Bukan sekadar insting, karena hukum moral memberi tahu kita insting mana yang harus kita ikuti dalam situasi tertentu.
- Bukan sekadar kebiasaan sosial, karena kita bisa membandingkan moralitas di berbagai zaman dan melihat adanya kemajuan.
- Bukan sekadar kesepakatan sosial, karena hukum moral mengikat kita bahkan ketika tidak ada insentif pribadi untuk mengikutinya.
Dari sini, Lewis semakin memperkuat argumennya bahwa ada hukum moral yang nyata dan objektif, sesuatu yang bukan hanya berasal dari manusia, tetapi datang dari sesuatu yang lebih besar dari kita.
Refleksi Pribadi
Bab ini sangat menarik karena membongkar banyak argumen populer tentang asal-usul moralitas. Saya sendiri pernah berpikir bahwa moralitas adalah hasil dari evolusi sosial—tetapi setelah membaca analisis Lewis, saya jadi melihat bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebiasaan atau insting.
Salah satu hal yang paling mengena bagi saya adalah analogi tentang piano. Kita tidak hanya menekan satu tuts, tetapi memilih kombinasi yang tepat untuk menghasilkan harmoni. Itu sangat menggambarkan bagaimana kita sering dihadapkan pada berbagai pilihan moral yang kompleks.
Saya semakin penasaran ke mana arah argumen ini akan membawa kita di bab berikutnya. Saya akan terus membaca dan membagikan ringkasannya di sini.
Bersambung ke Bab 3: The Reality of the Law… 🚀