Mere Christianity: Memahami Hukum Moral dalam Diri Kita

Saya melanjutkan perjalanan membaca Mere Christianity dan kali ini masuk ke Bab 1: The Law of Human Nature. Setelah membaca Preface, saya semakin tertarik dengan cara C.S. Lewis menyusun argumen. Ia tidak langsung berbicara tentang Tuhan atau iman Kristen, tetapi memulai dengan sesuatu yang kita semua alami: konsep benar dan salah.
Sebelum masuk ke ringkasannya, ada satu hal menarik yang saya sadari saat membaca bab ini. Lewis bukan hanya sekadar menulis tentang agama—ia membangun fondasi logis untuk memahami moralitas manusia. Ia tidak meminta kita untuk menerima sesuatu secara dogmatis, tetapi mengajak kita berpikir dan melihat realitas di sekitar kita.
Jadi, mari kita lihat bagaimana ia mengawali argumen dalam Mere Christianity.
Ringkasan Bab 1: The Law of Human Nature
C.S. Lewis memulai dengan sesuatu yang sangat umum: pertengkaran antar manusia. Ia mengamati bahwa setiap kali orang berdebat, mereka selalu mengacu pada standar moral yang sama, meskipun mereka mungkin tidak menyadarinya.
“That’s my seat, I was here first!”
“Give me a bit of your orange, I gave you a bit of mine.”
“Come on, you promised!”
Pernyataan seperti ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kesadaran moral bawaan. Ketika kita mengklaim seseorang bertindak tidak adil, kita mengasumsikan ada aturan yang berlaku untuk semua orang—aturan yang mereka (dan kita) tahu, meskipun mereka mungkin melanggarnya.
Dari sini, Lewis memperkenalkan konsep Law of Human Nature, yaitu hukum moral yang universal dan berlaku bagi semua manusia. Ia membandingkannya dengan hukum alam seperti gravitasi, tetapi dengan perbedaan mendasar: hukum gravitasi tidak bisa dilanggar, sementara hukum moral bisa.
“The Law of Gravity tells you what stones do if you drop them; but the Law of Human Nature tells you what human beings ought to do and do not.”
Dengan kata lain, kita semua tahu bahwa kita harus berbuat baik, tetapi kita sering gagal melakukannya.
Keberagaman Moralitas? Tidak Jauh Berbeda
Beberapa orang mungkin berargumen bahwa moralitas itu relatif, bahwa setiap budaya memiliki standar benar dan salah yang berbeda. Namun, Lewis menolak gagasan ini. Ia mengakui bahwa ada perbedaan dalam praktik moral, tetapi prinsip dasarnya tetap sama.
Sebagai contoh, semua peradaban sepanjang sejarah mengajarkan bahwa egoisme itu buruk dan keberanian itu baik. Tidak ada budaya yang mengagumi pengkhianatan atau menganggap pengecut sebagai kebajikan.
“Think of a country where people were admired for running away in battle, or where a man felt proud of double-crossing all the people who had been kindest to him.”
Jadi, meskipun ada variasi dalam bagaimana nilai-nilai diterapkan, hukum moral tetap ada dan bersifat universal.
Hukum Moral Tidak Sama dengan Insting
Ada pandangan yang mengatakan bahwa moralitas hanyalah hasil dari insting manusia, seperti naluri bertahan hidup atau naluri kawanan. Tapi Lewis membantahnya. Jika moralitas hanya insting, maka kita seharusnya selalu mengikuti insting terkuat kita. Namun, dalam banyak kasus, moralitas justru memandu kita untuk melawan insting tertentu.
Misalnya, jika kita melihat seseorang tenggelam, kita mungkin punya dua insting: insting untuk menolong dan insting untuk melindungi diri sendiri dari bahaya. Hukum moral hadir sebagai sesuatu yang berbeda dari insting—ia memberi tahu kita mana yang harus kita ikuti.
“The Moral Law tells us the tune we have to play: our instincts are merely the keys.”
Dengan kata lain, moralitas bukan sekadar insting, tetapi seperti musik yang mengatur bagaimana berbagai insting kita digunakan dengan benar.
Hukum Moral Bukan Sekadar Konvensi Sosial
Argumen lain yang sering muncul adalah bahwa moralitas hanyalah hasil dari pendidikan dan kebiasaan sosial. Tetapi Lewis menunjukkan bahwa meskipun kita belajar tentang moralitas dari orang lain, itu tidak berarti moralitas hanya sekadar buatan manusia.
Ia membandingkannya dengan matematika: kita diajarkan tentang angka dan operasi matematika di sekolah, tetapi itu tidak berarti bahwa matematika hanyalah ciptaan manusia yang bisa diubah sesuka hati.
“The question is to which class the Law of Human Nature belongs.”
Apakah hukum moral seperti aturan mengemudi di sisi kiri atau kanan jalan (yang bisa berubah dari satu negara ke negara lain), atau apakah ia seperti hukum matematika, sesuatu yang tetap benar terlepas dari pendapat manusia? Lewis berpendapat bahwa moralitas lebih mirip dengan matematika: ada kebenaran objektif di dalamnya.
Kesimpulan Bab 1
Dari semua ini, Lewis menyimpulkan dua hal utama:
- Manusia memiliki kesadaran moral bawaan. Kita tahu ada yang disebut “benar” dan “salah,” bahkan jika kita tidak selalu mengikutinya.
- Kita sering melanggar hukum moral ini. Kita tidak selalu hidup sesuai dengan standar yang kita tahu benar.
Menurut Lewis, dua fakta inilah yang menjadi fondasi utama untuk memahami diri kita sendiri dan dunia di sekitar kita.
“These two facts are the foundation of all clear thinking about ourselves and the universe we live in.”
Refleksi Pribadi
Bab ini langsung menghantam saya dengan pertanyaan sederhana tetapi mendalam: Jika moralitas bukan hanya insting atau konvensi sosial, lalu dari mana asalnya?
Saya setuju dengan banyak hal yang dikatakan Lewis di sini. Pernahkah kita marah karena diperlakukan tidak adil, tetapi dalam waktu yang sama membuat alasan ketika kita sendiri bertindak tidak adil? Saya rasa kita semua pernah mengalaminya. Ada standar moral yang kita pegang, bahkan ketika kita gagal mengikutinya.
Satu hal yang menarik dari argumen Lewis adalah bagaimana ia membangun landasan bagi diskusi lebih lanjut. Ia tidak langsung membawa kita kepada Tuhan, tetapi mulai dengan sesuatu yang dapat diobservasi oleh siapa saja: fakta bahwa kita memiliki kesadaran moral, dan bahwa kita sering gagal mengikutinya.
Saya penasaran bagaimana ia akan melanjutkan argumen ini di bab berikutnya. Saya akan tetap membaca dan membagikan ringkasannya di sini.
Bersambung ke Bab 2: Some Objections… 🚀