Orang Manado dan Tinutuan

Tahun 2009 hingga 2015 adalah masa yang penuh kenangan indah bagi saya. Saat itu, saya dan beberapa teman asal Manado sedang menjalani studi di Jepang. Meskipun jauh dari tanah kelahiran, kehangatan budaya dan tradisi selalu kami bawa ke mana pun kami pergi. Salah satu cara kami merasakan “rumah” adalah dengan berkumpul dan memasak bersama. Dan makanan yang selalu jadi andalan kami adalah Tinutuan, bubur khas Manado yang penuh kelezatan dan cerita.
Tinutuan: Lebih dari Sekadar Bubur
Tinutuan bukan sekadar makanan bagi orang Manado. Ini adalah simbol kebersamaan, rasa syukur, dan kekayaan alam Sulawesi Utara. Bubur ini terbuat dari campuran beras, jagung, labu kuning, berbagai jenis sayuran, dan daun gedi yang menjadi ciri khasnya. Ditambah pelengkap seperti ikan cakalang fufu atau sambal roa, tinutuan bukan hanya memanjakan lidah, tetapi juga menghadirkan kehangatan di setiap suapannya.
Namun, menemukan bahan-bahan untuk membuat Tinutuan di Jepang adalah tantangan tersendiri. Jagung manis, labu, hingga daun-daunan harus kami cari di pasar lokal, sering kali dengan adaptasi dan kompromi. Daun gedi, misalnya, hampir mustahil ditemukan, jadi kami menggantinya dengan bahan lain yang mendekati tekstur dan rasanya. Namun begitu, semangat untuk meracik rasa khas Manado tetap terjaga.
Kebersamaan di Apartemen

Apartemen kecil saya di Jepang sering kali menjadi tempat berkumpulnya teman-teman. Begitu ada waktu luang, kami langsung berencana untuk memasak Tinutuan. Biasanya, teman-teman akan keliling di pasar lokal untuk mencari bahan. Dengan penuh semangat, mereka membawa pulang apa pun yang bisa mendekati cita rasa Manado, lalu menyerahkannya kepada istri saya yang setia menyiapkan hidangan untuk kami semua.
Istri saya, Dina, selalu menerima tugas ini dengan senyum. Dengan cekatan, ia mengolah bahan-bahan yang ada, memotong labu, mencuci sayuran, dan memastikan bubur dimasak dengan cinta. Saat Tinutuan mulai matang, aromanya memenuhi ruangan, membawa kami seolah kembali ke rumah. Sementara itu, kami para pria biasanya sibuk mengobrol, bercanda, atau berbagi cerita tentang kehidupan di negeri Sakura.
Lebih dari Sekadar Makanan
Kegiatan memasak Tinutuan ini lebih dari sekadar makan bersama. Ini adalah saat di mana kami merajut kebersamaan, mengobati rasa rindu, dan berbagi cerita tentang kehidupan kami di tanah perantauan. Dalam setiap pertemuan, ada tawa, ada cerita, ada kebahagiaan kecil yang membuat studi di luar negeri terasa lebih ringan.
Saya masih ingat jelas bagaimana setiap piring Tinutuan menjadi saksi bisu diskusi kami tentang masa depan, mimpi-mimpi, hingga nostalgia tentang Manado. Bubur ini seperti penghubung, jembatan yang membawa kami pulang walau hanya sejenak.
Tinutuan dan Rasa Rindu
Kini, tahun-tahun itu telah berlalu, tetapi kenangan tentang Tinutuan tetap hidup di hati saya. Setiap kali saya mencium aroma labu atau jagung yang direbus, ingatan tentang apartemen kecil di Jepang, teman-teman, dan istri saya yang dengan setia menyiapkan Tinutuan kembali hadir.
Tinutuan mengingatkan saya bahwa makanan bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang makna yang ia bawa. Dan bagi saya, Tinutuan adalah simbol kebersamaan, rasa syukur, dan cinta kepada kampung halaman.
Orang Manado, di mana pun berada, selalu membawa semangat dan budaya mereka. Bagi kami, Tinutuan bukan hanya bubur—ia adalah rumah, di dalam setiap suapan hangatnya.