Penjelasan FOSS (Free/Open Source Software) untuk orang pesimistis
Tahun 1940-an sebuah perusahaan sepatu di Inggris mengutus dua staf-nya ke Afrika untuk melakukan market survey sebelum memutuskan mengirim produknya ke sana. Seminggu setelah keduanya tiba di Afrika, masing2 mengirim telegram ke kantor pusat di London. Telegram staf A, isinya begini: KABAR BURUK! TAK SEORANGPUN BERSEPATU DISINI. BATALKAN PENGIRIMAN. Sebaliknya, isi telegram staf B begini: KABAR BAIK! TAK SEORANGPUN BERSEPATU DISINI. KIRIM SEBANYAK-BANYAKNYA.
Saya rasa cukup jelas intisari cerita di atas: bagi seorang pesimistis, masalah adalah jalan buntu. Sedangkan bagi orang yg optimis, dimana ada masalah disitu ada peluang. Saya rasa filosofi ini mungkin bisa diterapkan dalam menyikapi hegemoni software proprietary vs FOSS (Free/Open Source Software) yg sedang kita diskusikan. Banyak orang berpendapat, FOSS masih memiliki banyak kekurangan dibanding software proprietary. Mungkin saja ada benarnya, tapi bagaimana jika kita bisa membalik “kekurangan” tsb menjadi peluang? Berikut beberapa contoh dan case-study:
(1) FOSS itu beresiko
Orang bilang, menggunakan FOSS beresiko karena tidak menyediakan support. Banyak perusahaan, instansi maupun institusi ragu2 mengadopsi FOSS dan terpaksa (meskipun costly) memilih software proprietary dengan alasan lebih terjamin. Ok, tapi bukankah itu juga berarti peluang terbuka lebar untuk membuka bisnis “FOSS Support Service”? Sediakanlah “FOSS Support Center” dengan harga dan layanan yg bersaing dgn bisnis serupa di ranah proprietary, dan hukum ekonomi akan memaksa mereka migrasi dengan sendirinya.
Case-study: JBoss (http://jboss.org/), Bajau (http://www.bajau.com)
(2) FOSS itu ribet
Orang bilang, solusi FOSS itu sporadis alias tidak terintegrasi. Waktu Linus Torvalds pertama kali merilis kernel Linux pada tahun 1991, tidak banyak yang melirik prospek bisnisnya. Tapi Linux mungkin tidak akan pernah dikenal luas seperti sekarang jika tidak ada orang seperti Patrick Volkerding yang melengkapi kernel Linux dengan aplikasi2 tambahan seperti word processor, spreadsheet, multimedia, database dan installer, dan mendistribusikannya dalam sebuah paket terintegrasi yg kemudian kita kenal dengan istilah “Linux distribution” (disingkat Distro). Dewasa ini, distro buatan Volkerding (Slackware) hanyalah salah satu dari ratusan Distro Linux yg dapat dijumpai di pasaran.
Case-study: Ubuntu (http://www.ubuntu.com), Linux Nusantara (http://nusantara-linux.web.id)
(3) FOSS itu sulit
Orang bilang FOSS itu sulit! Syukurlah kalau begitu (lho kok?), karena itu berarti ada peluang bisnis bagi “orang komputer” untuk membuat yang sulit tadi jadi gampang dengan cara:
– membuka FOSS training center
– membuka jasa konsultan FOSS
– menjadi pembicara di seminar2 FOSS
– menulis buku tutorial
Dan berhubung peluang2 bisnis tsb di atas hanya akan laku sepanjang FOSS masih dianggap “sulit”, segeralah dimanfaatkan karena rentang tingkat kesulitan antara penggunaan FOSS dan software proprietary makin mengecil dewasa ini.
Case study: Linux Professional Institute (http://www.lpi.org), Onno W. Purbo (http://id.wikipedia.org/wiki/Onno_W._Purbo)
(4) FOSS itu gratisan
Orang bilang FOSS itu gratisan (dengan konotasi yg lebih negatif dari “murahan”), non-komersial dan sulit jadi profit. Ok, but everybody loves free stuffs! Ini berarti dengan FOSS, nda usah kuatir, akan selalu ada user. Jika segmen korporat kepalang grogi dengan sesuatu yg “gratisan”, masih ada segmen low end user (user biasa dang, rupa kita salah satunya) yg tidak kalah menjanjikan dan dengan senang hati menerima. Nah, bagaimana yg gratis bisa jadi duit, disitu seninya! Berikut beberapa contoh:
– Ada yang pake jurus pengedar sabu-sabu: hari ini gratis, setelah ketagihan baru bayar. Contoh: RedHat Linux, salah satu distro Linux yg dulunya gratis dan sekarang berbayar.
– Ada lagi yg pake metode advertisement ala Pilkada: dapat kaos, plus pesan sponsor. Contoh: Eudora, salah satu free (non-opensource) email client yg bersifat adware. Setelah masa trial berakhir, user bisa memilih utk tetap gratis tapi dengan menampilkan iklan.
– Ada yang meminjam jurus-nya Breadtalk: aroma-nya gratis, rotinya bayar! Contoh: Adobe Systems yg merilis Flex sebagai free sofware, tapi menjual builder-nya (Flash Builder IDE).
Masih banyak trik2 lain, misalnya yg ada disini: 101 Ways to Make Money off Open Source
http://www.manageability.org/blog/archive/20030611%23101_ways_to_make_money1
Dalam keadaan paling buruk, masih ada satu lagi solusi: DONASI. Yang ini sudah diungkap dalam posting2 terdahulu, sebagai sebuah “kekurangan” FOSS. But think again! Bukankah ini justru keuntungan FOSS dibanding software proprietary? Ketika Wikipedia (free internet encyclopedia) lagi butuh uang, pendirinya (Jimmy Wales) cukup menampilkan sebuah banner menyerukan permohonan donasi kepada seluruh user wikipedia. Hasilnya? Dalam waktu singkat, $16juta USD berhasil dikumpulkan dari donasi 500rb penggunanya. Nah, bisakah yang begini ini dilakukan di ranah proprietary? hmmmm…..